DI BALIK KEMARAHAN PUBLIK TERHADAP DPR

Syaiful Rosyad --
Oleh : Syaiful Rosyad Fahlevi
Komite Komunitas Demokrasi Banyuasin (KKDB)
KETIKA rakyat sedang terhimpit beban hidup akibat kenaikan pajak dan harga kebutuhan pokok yang makin mencekik, justru anggota DPR memperlihatkan wajah sebaliknya. Mereka larut dalam euforia menyambut kenaikan gaji dan tunjangan jabatan, seolah tidak ada empati sedikit pun terhadap penderitaan rakyat yang memilih mereka.
Yang lebih melukai hati rakyat adalah ketika sejumlah wakil rakyat melontarkan pernyataan (statement) yang terkesan merendahkan dan menyakitkan. Mulut yang seharusnya digunakan untuk menyuarakan aspirasi rakyat, justru berubah menjadi “harimau” yang menerkam martabat rakyat itu sendiri. Tak heran, rasa kecewa berubah menjadi kemarahan, dan kemarahan menjelma menjadi aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah.
Rakyat merasa DPR tidak lagi memiliki manfaat, bahkan dianggap hanya sebagai beban negara. Mereka digaji dari uang rakyat, tetapi justru sibuk memperkaya diri, tidur di kursi parlemen, hingga asyik bermain gawai di tengah sidang. Ironis, wakil rakyat yang seharusnya menjadi corong suara, kini justru tuli terhadap jeritan konstituennya.
BACA JUGA:Pemkab Banyuasin Berkomitmen Dukung Operasional KMP Putri Leanpuri
Kemarahan publik pun meledak. Gedung DPR menjadi sasaran amarah, fasilitas umum dirusak, bahkan rumah pribadi sejumlah anggota DPR ikut menjadi target. Nama-nama seperti Sahroni (NasDem), Uya Kuya, Eko Patrio (PAN), Nafa Urbach (NasDem), hingga Adies Kadir (Golkar) pun disebut-sebut dalam pusaran amuk massa. Kerugian materi bernilai miliaran rupiah tak terhindarkan, dan semuanya berawal dari ulah mereka sendiri.
Kita boleh bergembira atas sesuatu yang menguntungkan, tetapi jangan sampai kegembiraan itu melukai perasaan orang lain. Sebab, sekali kata-kata keluar, tak akan bisa ditarik kembali. Nasi sudah menjadi bubur. Setelah amarah rakyat membuncah, barulah sebagian dari mereka meminta maaf. Namun saat kejadian, mereka memilih diam, mengurung diri di rumah, tak berani menghadapi rakyat yang marah.
Lebih ironis lagi, Ketua DPR RI, Puan Maharani, justru sempat menyalahkan massa yang masuk melalui pintu terbuka. Pernyataan itu semakin menambah luka rakyat. Padahal seharusnya DPR melakukan introspeksi, bukan sekadar mencari kambing hitam.
BACA JUGA:Kepengurusan Gerakan Pramuka di Banyuasin Dilantik Ketua Kwarda Sumsel
Di sisi lain, ada kekecewaan mendalam karena DPR hingga kini tidak juga mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Padahal wacana ini sudah bergulir sejak era Presiden ke-7 Joko Widodo, dan hingga kini di era Presiden Prabowo Subianto, masih saja terkatung-katung di meja parlemen. Sikap DPR yang berlarut-larut ini menimbulkan dugaan adanya kepentingan politik dan ekonomi di baliknya. Tak menutup kemungkinan Presiden akhirnya mengeluarkan Perppu, bahkan mungkin sekaligus menegaskan hukuman mati bagi koruptor.
Sanksi partai terhadap kader yang mencoreng nama baik DPR pun terkesan setengah hati. Ada yang hanya dinonaktifkan, bukan diberhentikan permanen. Artinya, sewaktu-waktu mereka bisa kembali jika masih dibutuhkan partai. Sementara itu, ada pula kader partai lain yang melakukan kesalahan serupa, namun partainya memilih bungkam, belum berani memberi sanksi.
Opini ini bukan untuk memperkeruh keadaan, tetapi sebagai peringatan: jangan sekali-kali sakiti hati rakyat. Rakyat memilihmu untuk mewakili suara mereka, bukan untuk bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Bila DPR terus salah mengambil kebijakan, jangan salahkan rakyat bila mereka bangkit melawan.