Refleksi Pilkada 2024: Dinamika Politik, Kemenangan Petahana, dan Pelajaran untuk Demokrasi

Saipul Rosad --

KORANHARIANBANYUASIN.ID - Demokrasi adalah seni menerima perbedaan. Ada yang menang, ada yang kalah. Ada yang bersorak, ada pula yang menahan luka. Pilkada 2024 telah kita lewati dengan segala dinamika dan kejutan yang menyertainya.

Prediksi banyak pihak meleset, strategi berubah arah, dan berbagai isu dilemparkan ke ruang publik, dari hoaks hingga daur ulang berita lama.

Semua itu menjadi bagian dari upaya untuk menggiring opini masyarakat. Namun, masyarakat tampaknya semakin cerdas memilah mana yang relevan dan mana yang hanya sekadar polusi politik.  

BACA JUGA:Laka Lantas di Pulau Harapan Banyuasin: Pengendara Sepeda Motor Terlindas!

Dalam menghadapi tahun politik ini, kita dihadapkan pada tiga agenda besar: Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Ketiga agenda ini memiliki peran dan tujuan yang berbeda:  

1. Pemilihan Presiden (Pilpres) adalah momen memilih kepala negara, pemimpin yang akan membawa visi Indonesia ke depan.  

2. Pemilu Legislatif (Pileg) memilih para wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, merepresentasikan suara kita dari daerah pemilihan masing-masing.  

BACA JUGA:Hasil Rekapitulasi Desk Pemilu Pemkab Banyuasin, ASTA Menang 57,76% Suara, SELFI 38,52%

3. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memilih pemimpin lokal seperti bupati atau gubernur, yang langsung berhadapan dengan kebutuhan masyarakat di tingkat daerah.  

Perlu diingat, Pilpres tidak sama dengan Pileg, begitu juga dengan Pilkada. Besarnya koalisi partai pengusung bukanlah jaminan kemenangan. Sejarah menunjukkan bahwa dukungan koalisi sering kali hanya berbicara di atas kertas.

Bahkan, mesin partai politik tak selalu bergerak selaras dengan arah kebijakan pusat. Itulah mengapa banyak calon lebih memilih fokus pada dukungan dari simpatisan, relawan, atau tokoh lokal yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.  

BACA JUGA:Unggul Dalam Tata Kelola, BRI Dinobatkan Sebagai The Most Trusted Company 2024

Calon petahana (incumbent) sering kali diunggulkan karena modal awal mereka yang kuat. Mereka dikenal masyarakat, memiliki pengalaman, dan sudah memahami kebutuhan daerah.

Ini adalah keuntungan strategis yang sulit disaingi oleh pendatang baru yang masih harus menyesuaikan diri dengan adat dan budaya setempat. Dalam konteks Sumatera Selatan, survei independen telah menunjukkan tingginya elektabilitas tokoh seperti Herman Deru dan H. Askolani, yang kembali dipercaya masyarakat untuk memimpin.  

Tag
Share