Alwi dan Felisha kerap berbincang di luar urusan lapangan.
Mulai dari hal ringan seperti makanan, pakaian, hingga pengalaman perjalanan.
Hal itu membuat keduanya merasa lebih nyaman dalam menjalani persiapan menghadapi kompetisi akbar.
“Kami sering berdiskusi, bukan hanya soal strategi bulutangkis. Rasanya menyenangkan punya teman yang bisa saling mendukung,” tutur Felisha.
Bagi Alwi, kesempatan tampil di Adidas Arena terasa bagai mimpi yang tiba-tiba menjadi nyata.
Tahun lalu, ia hanya bisa menyaksikan Olimpiade Paris dari layar televisi.
Kini, ia berdiri di venue yang sama, berjuang membawa nama Indonesia.
“Alhamdulillah akhirnya bisa sampai sini. Atmosfernya berbeda sekali. Semua pemain pasti menantikan Kejuaraan Dunia. Saya ingin memaksimalkan persiapan yang sudah dilakukan bersama pelatih. Ada rasa excited, tapi saya harus pandai mengontrol emosi agar tidak terbawa suasana,” jelas Alwi.
Senada dengan Alwi, Felisha juga menaruh rasa bangga sekaligus harapan besar pada debutnya.
Bagi gadis asal Medan itu, kesempatan ini adalah hadiah dari kerja keras bertahun-tahun.
“Puji Tuhan bisa sampai di Paris. Dari bulan April, sejak diumumkan, saya sudah menunggu momen ini. Sekarang saatnya menikmati permainan, tampil lepas tanpa beban, dan memberikan yang terbaik,” kata Felisha.
Ia juga menyoroti atmosfer berbeda yang dirasakannya di Adidas Arena.
“Kalau waktu Olimpiade, arena terlihat terang sekali. Sekarang tribun lebih gelap, tapi auranya tetap istimewa. Saya tidak mau terlalu banyak mengubah kebiasaan, tetap sama seperti di turnamen lain. Hanya fokusnya yang ditambah agar bisa main nothing to lose,” tambahnya.
Kisah Alwi dan Felisha menjadi bukti nyata bahwa kerja keras sejak usia muda mampu membawa mereka ke panggung dunia.
Dari sekadar kapten tim junior, kini mereka berdiri sejajar dengan atlet top dunia.
Debut ini tentu bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang akan mereka tempuh.