BACA JUGA:Banyuasin Siaga Satu Ancaman Bencana Pancaroba
Tidak perlu bingung memikirkan konten apa yang dipilih, cukup mengunggah kegiatan sehari-hari saja. Ditambahkan pemanis, sudah menjadi konten di hari itu juga.
Hanya saja, menjadi seorang konten kreator tak semudah yang dibayangkan. Ia harus bergelut dengan algoritma.
Puter otak biar bisa viral, sehingga akun kita berkembang. Iming-iming mendulang materi menjadi daya pikat tersendiri.
Misal, banyak tawaran endorsement di akun kita. Sudah pasti pundi-pundi rupiah cepat diraih seiring berkembangnya akun kita.
Namun, itulah realitasnya dunia. Semakin dikejar, semakin besar keinginan untuk mendapatkan cuan berlimpah dan tentu makin membuat lelah.
Tak sedikit yang akhirnya pusing dan lelah karena tak ada kemajuan dalam akunnya.
Sudah berpuluh-puluh video diupload, waktu cek dasbor insight tidak mengalami kenaikan. Sungguh lesu bukan kepalang.
Pernah dijumpai sendiri oleh penulis bahwa, ada yang sampai akhirnya ingin tutup akun, gara-gara tidak ada kemajuan dalam akun sosmednya.
Stres bukan kepalang, usaha yang selama ini dibangun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.
Jebakan Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme tolok ukur perbuatannya didasari oleh materi.
Tak ayal, produktivitas ibu muda dilihat dari seberapa besar cuan yang ia dapatkan.
Orientasi materi menjadi standar kesuksesan seseorang.
Jargonnya dari generasi hari ini "Kalo lu punya duit, lu punya kuasa". Saat ini apa saja bisa diraih asal banyak uang.
Kapitalisme jelas menggeser peran ibu yang sebenarnya. Para ibu seolah dibuat 'produktif' via media.