“Ada visum, saksi, dan korban yang hidup dan mengalami langsung. Jadi tidak ada alasan bagi penegak hukum untuk lambat,” tegas Sapriadi.
LBH Ganta bahkan sudah menyurati Presiden RI Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Mereka berharap, ada perhatian serius dari pusat terhadap nasib perempuan korban kekerasan seperti Suryani.
“Ini bukan hanya soal hukum, ini soal kemanusiaan,” imbuhnya.
Kasus Suryani bukan yang pertama. Pada Februari 2024 lalu, publik juga digemparkan oleh kasus Misna Dewi, wanita muda yang disiram air keras oleh orang tak dikenal di warung miliknya.
Sama seperti Suryani, wajah dan tubuh Misna mengalami luka bakar berat. Sama pula, beban pembiayaannya tidak ringan.
Perempuan, seringkali menjadi korban kekerasan yang berlapis: fisik, psikis, ekonomi, hingga sosial. Sayangnya, sistem perlindungan dan jaminan sosial belum sepenuhnya siap merangkul mereka.
“Kalau pun hukum belum bisa menuntaskan, setidaknya negara hadir dalam bentuk bantuan pengobatan dan pemulihan mental,” tutup Sapriadi. “Agar Suryani tidak terus merasa jadi korban, bahkan setelah pelaku menyiram air keras ke wajahnya.”
Kini, Suryani menunggu. Bukan hanya agar utangnya lunas, tapi agar keadilan benar-benar datang—dengan ditangkapnya pelaku, dan negara hadir sebagai pelindung, bukan sekadar penonton.