Pernikahan Tanpa Iman, Sumber Masalah
Ismawati--
BACA JUGA:Siapkah Sekolah Menerapkan Kurikulum Nasional?
Bukan hanya menganiaya sang anak, menurut pengakuan sang istri yakni SN (19), F juga kerap menganiaya dirinya, seperti sering ditampar dan ditonjok (dipukul), karena marah tidak punya rokok.
Di satu sisi, jika ditelisik dari komentar-komentar di media sosial, masyarakat menilai bahwa permasalahan ini terjadi tersebab kesalahan pernikahan dini.
Anak-anak usia belasan dianggap belum matang secara psikologisnya untuk menikah, belum mampu memikul tanggung jawab besar sebagai pemimpin bagi istri dan anaknya.
Padahal, kalau kita melihat dari kacamata yang lebih luas, meskipun usianya sudah dewasa atau bahkan tua sekalipun, tidak menjamin kematangan seseorang secara pasti.
Faktanya, banyak kita temui kasus-kasus orang dewasa yang membunuh anak atau istrinya.
Artinya, kesalahan di sini terletak pada sisi kesiapan individu dalam mempersiapkan pernikahan.
Bagaimana bisa mempersiapkan pernikahan, individunya saja terpapar sekularisme, yakni cara hidup yang memisahkan aturan agama dari kehidupan.
Anak-anak hari ini tidak memiliki bekal akidah (keimanan) sebagai pondasi perbuatan.
Jadilah kehidupan mereka cenderung pada hedonisme, dan liberalisme. Kehidupan dipandang hanya sekadar mencari kesenangan dunia sebanyak-banyaknya. Menikah pun dianggap sebagai sebuah beban.
Belum lagi kondisi media dan lingkungan menjadi pendorong nafsu anak yang makin tak terkendali.
Menikah hanya sekadar dipandang dari sisi romantisme, tapi tak punya visi dan bekal untuk menuntun perjalannya.
Tayangan mesra terus dipertontonkan di media, semakin memancing gharizah nau' (naluri seksual) seseorang.
Pernikahan dalam Islam
Sejatinya, syariat Islam tidak menentukan usia pernikahan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Rasulullah Saw. bersabda,